Kejagung pastikan belum setop penyidikan BTS 4G, Dito dan Nistra masuk radar
Beberapa pesakitan kasus korupsi megaproyek BTS 4G BAKTI Kominfo telah divonis pengadilan. Namun, Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan belum menyetop penyidikan perkara tersebut.
Setidaknya ada dua orang yang masuk radar penyidikan berikutnya, yakni Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Dito Ariotedjo, dan Nistra Yohan, yang dikabarkan merupakan staf ahli anggota Komisi I DPR asal Fraksi Partai Gerindra, Sugiono.
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, menyatakan, rentetan dari perkara ini masih berlanjut. Berkas BTS di meja kerjanya pun masih menumpuk.
Pendalaman terhadap peran Dito pada kasus ini dilakukan dengan mengusut pengembalian uang Rp27 miliar ke kantor kuasa hukum Direktur PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan, Maqdir Ismail. Yang mengembalikan uang itu disebut-sebut bernama Suryo, tetapi penyidik tidak kunjung menemukannya. Adapun uang tersebut telah diserahkan Maqdir kepada Kejagung.
"Contoh soal Dito. Sampai sekarang, orang yang nyerahkan Rp27 miliar itu saja kita belum tahu siapa orangnya. Kita sudah ambil CCTV-nya [dari kantor Maqdir]. Belum tahu orang itu, siapa yang nyerahkan ke Maqdir," katanya kepada Alinea.id, Kamis (4/1).
Dalam kasus ini, berdasarkan vonis sejumlah terdakwa, ada aliran uang sebesar Rp27 miliar yang diterima Dito Aritedjo rentang November-Desember 2022. Uang itu diserahkan Irwan melalui orang kepercayaannya, Windi Purnama.
Pemberian uang itu dalam rangka operasi pengamanan perkara BTS agar tidak diusut aparat penegak hukum. Namun, ketika bersaksi di pengadilan, Dito membantah menerima duit tersebut.
Pun demikian dengan Nistra. Berdasarkan keterangan kedua terdakwa, Irwan dan Windi, saat bersaksi di pengadilan, Nistra disebut-sebut menerima Rp70 miliar untuk dialiarkan kepada Komisi I DPR.
Kejagung sempat memanggil Nistra sebagai saksi sebanyak dua kali, tetapi selalu mangkir. Penyidik juga sempat mendatangi kediamannya dan hasilnya nihil.
"Sampai sekarang, Nistra di kita belum dapat. Kalau tahu orangnya, informasikan ke kita," ucap Febri.
Urgensi mengusut pelaku tersisa
Terpisah, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyatakan, pengejaran terhadap Dito dan Nistra penting dilakukan penyidik. Apalagi, uang yang "ditebar" Irwan mencapai Rp230 miliar.
"Kalau dua ini tidak diproses, maka menjadi timpang dan kejaksaan menjadi tidak adil karena orang-orang yang terlibat tidak diproses hukum," katanya kepada Alinea.id, Selasa (9/1).
Boyamin melanjutkan, kegentingan menjerat Dito dan Nistra bukan sekadar persoalan hukum, melainkan untuk memulihkan kerugian negara. Berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam kasus korupsi BTS 4G Rp8,03 triliun. Angka ini mengacu 3.242 menara BTS yang belum dibangun hingga 31 Maret 2022 dari total target 4.200 menara BTS.
Dengan hanya menyisakan dua orang itu, menurutnya, Kejagung sudah hampir mencapai garis akhir penyelesaian kasus BTS. Karenanya, akan sangat disayangkan apabila selesai begitu saja tanpa proses hukum terhadap Dito dan Nistra.
Perkembangan kasus BTS
Kejagung setidaknya telah menetapkan 16 orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Selain Irwan dan Windi, ke-14 sisanya adalah bekas Direktur Utama (Dirut) BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latif; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak; tenaga ahli Human Development Universitas Indonesia (TA Hudev UI) 2020, Yohan Suryanto; dan Account Director of Integrated Account Department PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali.
Lalu, eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G. Plate; Dirut PT Basis Utama Prima, M. Yusrizki Muliawan; Dirut PT Sansaine, Jemy Sutjiawan; pejabat PPK Bakti Kominfo, Elvano Hatorangan; Kepala Divisi Lastmile dan Backhaul BAKTI Kominfo, M. Feriandi Mirza; TA Kominfo, Walbertus Natalius Wisang; Komisaris Utama PT Laman Tekno Digital, Edward Hutahaean; Kepala Hudev UI, M. Amar Khoerul; anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nonaktif, Achsanul Qosasi; dan perantara saweran Rp40 miliar kepada Achsanul, Sadikin Rusli.
Beberapa di antara telah berstatus terdakwa. Bahkan, telah divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Irwan, misalnya, dijatuhi hukuman 12 tahun penjara serta membayar denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan dan uang pengganti Rp1,15 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Lalu, Galumbang dan Mukti Ali divonis 6 tahun penjara dan membayar denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan, Johnny Plate dihukum 15 tahun penjara serta membayar denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp15,5 miliar subsider 2 tahun penjara, Anang dihukum 18 tahun penjara serta membayar denda Rp1 miliar subsider 6 bulan dan uang pengganti Rp5 miliar, dan Yohan divonis 5 tahun penjara serta membayar denda Rp200 juta subsider 3 bulan dan uang pengganti Rp400 juta.
Di sisi lain, dalam persidangan, jaksa membeberkan secara detail penerimaan uang kepada Windi terkait kasus korupsi BTS. Perinciannya, menerima Rp94 miliar dari Jemy; Rp27,5 miliar dari Direktur PT Waradana Yusa Abadi, Steven Setiawan Sutrisna; Rp7 miliar dari Dirut PT Lintasarta dan Direktur Niaga/Komersial PT Aplikanusa Lintasarta, Arya Damar dan Alfi Asman; Rp29 miliar dari Dirut PT Sarana Global Indoensia, Bayu Erriano Affia; Rp23 miliar dari Irwan; dan Rp60 miliar dari M. Yusrizki.
Uang yang dihimpun Windi tersebut lantas diserahkan kepada sejumlah pihak. Johnny Plate, misalnya, diberikan Rp10 miliar untuk operasional Kominfo, Rp1,5 miliar untuk disumbangkan kepada Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus di Kupang dan Keuskupan Kupang, Rp4 miliar melalui Walbertus Natalius Wisang (Berto), dan Rp1,8 miliar untuk pembayaran tagihan perjalanan dinas dan biaya hotel ke sejumlah negara (Paris Rp453,6 juta, London Rp167,6 juta, dan Amerika Serikat Rp404,6 juta).
Kemudian, menyerahkan Rp5 miliar kepada Anang Latif; Rp500 juta untuk Tim Pokja melalui Darien dan diterima Gumala Warman Rp200 juta, Darein Rp150 juta, Deni Tri Junedi Rp50 juta, Seni Sri Damayanti Rp50 juta, dan Devi Triarani Putri Rp50 juta; Kepala Divisi Lastmile/Backhaul BAKTI Kominfo, Muhammad Feriandi Mirza, Rp300 juta; Elvano Hatorangan Rp2,4 miliar; Jenifer Rp100 juta; Achsanul Qosasi via Sadikin Rusli Rp40 miliar; Komisi I DPR melalui Nistra Yohan Rp70 miliar; Edward Hutahaean Rp15 miliar; Windu Aji Susanto dan Setyo Rp66 miliar; dan Dito Ariotedjo sebesar Rp27 miliar.
Segala pengeluaran itu dilakukan sesuai arahan Irwan dan Anang Latif. Adapun sisanya digunakan Windi untuk kepentingan pribadinya, seperti membayar cicilan bulanan rumah di BSD, Tangerang Selatan, dan biaya hidup selama tinggal di Manila, Filipina, selama Februari-Mei 2023.
Windi pun sempat kembali menerima Rp200 juta dan US$3.000 dari Irwan serta Rp500 juta via Steven.